Uji Klinis Imunomodulator Jadi Sejarah Baru, Tanaman Herbal Untuk Pasien Covid-19



Jakarta, Beritainspiratif.com - Tim peneliti di Rumah Sakit Darurat Corona (RSDC) Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta pada 16 Agustus 2020 telah selesai melakukan uji klinis kandidat imunomodulator yang berasal dari tanaman herbal asli Indonesia untuk pasien Covid-19.

Dua produk yang diuji klinis adalah Cordyceps militaris dan kombinasi ekstrak herbal yang terdiri dari rimpang jahe merah (Zingiber officinale var Rubrum), daun meniran (Phyllanthus niruri), sambiloto (Andrographis paniculata), dan daun sembung (Blumea balsamifera). Saat ini data uji klinis tengah diverifikasi untuk memastikan hasilnya akurat untuk kemudian dikirimkan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) selaku regulator.

“Uji klinis imunomodulator dengan bahan asli dari keanekaragaman hayati Indonesia merupakan yang pertama yang dilakukan secara independen serta melibatkan banyak pihak untuk memastikan obyektifitas dan akurasinya terjaga,” jelas Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Laksana Tri Handoko di Jakarta pada Senin (17/8/2020) dalam siaran persnya di laman resmi LIPI.

Baca Juga:Kemendikbud-luncurkan-program-kewirausahaan-mahasiswa-vokasi-2020

Handoko menuturkan, jika dua produk imunomodulator itu terbukti dan dinyatakan BPOM berkhasiat berdasarkan analisis terhadap data hasil uji klinis dan penelitian, maka itu bisa menjadi fitofarmaka.

“Jika menjadi fitofarmaka, maka produk imunomodulator itu dapat diproduksi massal dan diresepkan oleh dokter untuk dipakai dalam penanganan pasien. Tentunya dengan harga relatif jauh lebih murah karena formula dan bahan baku lokal," ujar Handoko.

Metode uji klinis
Masteria Yunovilsa Putra dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI selaku Koordinator Kegiatan Uji Klinis Kandidat Imunomodulator Herbal untuk Penanganan COVID-19 menjelaskan hasil akan disampaikan berdasarkan hasil analisa BPOM terhadap hasil uji klinis yang diberikan tim tersebut. "Kami tidak akan menyatakan klaim khasiat sebelum ada hasil resmi dari BPOM," ujarnya.

Masteria menerangkan, uji klinis melibatkan 90 subyek penelitian dengan rentang usia 18 hingga 50 tahun yang diberikan intervensi selama 14 hari. Kriteria subyek penelitian adalah pasien positif COVID-19 baru yang telah dikonfirmasi melalui Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) dan memiliki gejala pneumonia ringan.

“Subyek juga tidak hamil atau menderita penyakit lain seperti DBD, demam tifus, gangguan jantung, gangguan ginjal, maupun memiliki alergi terhadap produk yang diujikan.”

Baca Juga:Lipi-siap-uji-coba-herbal-untuk-imun-pasien-covid-19-pneumonia-ringan

Dengan metode sistem blinding yang acak dan tersamar ganda, baik subyek maupun peneliti tidak mengetahui apakah yang diberikan kepada subyek tersebut adalah salah satu dari produk yang diujikan atau plasebo.

“Metode uji klinis kandidat imunomodulator dilakukan secara acak terkontrol tersamar ganda dengan plasebo untuk menghindari terjadinya bias pada penelitian,” papar Masteria.

Terdapat dua produk uji dan satu plasebo yang diberikan secara acak dan merata kepada 90 subyek uji yang dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok perlakuan pertama mendapat terapi standar COVID-19 dan Investigational Product 1 (kombinasi herbal), kemudian kelompok perlakuan kedua mendapat terapi standar COVID-19 dan Investigational Product 2 (Cordyceps), dan kelompok kontrol mendapat terapi standar COVID-19 dan plasebo.

Tujuan utama dari uji klinis ini adalah untuk melihat apakah waktu yang diperlukan untuk mencapai perbaikan gejala klinis non-spesifik menjadi lebih pendek durasinya.

“Uji klinis juga ditujukan untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai hasil RT-PCR negatif setelah adanya perbaikan gejala klinis,” tutup Masteria. 

Berita Terkait