Jakarta, Beritainspiratif.com - Menko Polhukam Mahfud MD menekankan bahwa dalam kondisi pandemi saat ini, yang dibutuhkan masyarakat adalah pikiran dan energi positif, semangat untuk bertahan, dan saling mendukung satu sama lain. Pernyataan ini disampaikan Menko Polhukam sebagai respons atas pemberitaan sejumlah media yang kerap memberitakan dan menulis judul berita yang meleset dari pernyataan nara sumber.

“Dibutuhkan ruang publik dan pemberitaan media yang kondusif, yang memotivasi masyarakat, tanpa harus menanggalkan independensi dan obyektifitas yang dimiliki,” ujar Mahfud MD dalam sesi diskusi Dewan Pers Dengan Para Pemimpin Redaksi Media dan pimpinan Asosiasi Pers yang diselenggarakan Dewan Pers, Rabu malam (4/8/2021).

Dalam keterangan resmi Menkopolhukam, Rabu (5/8/2021), Mahfud menyampaikan bahwa, yang membedakan antara media sosial yang menjadi tempat berkembangnya hoax dan media mainstream adalah pada standar kualitas konten, baik dari sisi akurasi maupun aspek etik atau moral konten yang disebarkan.

“Proses yang berjenjang di ruang redaksi, dari reporter, ke redaktur dan hingga pemred, adalah jaminan kualitas dan akurasi sehingga beritanya bisa dipertanggungjawabkan,” tegasnya.

Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh sependapat dengan pernyataan Mahfud. Nuh menambahkan, ada hal yang belum selesai kaitannya dengan problem pers, yaitu meningkatkan kualitas para jurnalis, meningkatkan profesionalitas mereka, dan meningkatkan kemerdekaan pers.

“Oleh sebab itu, pertemuan terakhir dengan Menko Polhukam beberapa bulan lalu, saya kira sangat menarik untuk kita gagas dan tindaklanjuti. Ada pelatihan-pelatihan bersama antara Kemenko Polhukam dengan Dewan Pers,” ujar Muhammad Nuh.

Baca Juga: Kasad dan Komandan USARPAC Amerika Sematkan 569 Wing Terjun Garuda Airborne

Ketua Forum Pemred, Kemal Gani menyadari perilaku sebagian media yang jurnalisnya kerap menulis judul yang tidak sesuai dengan isi berita, terutama media abal-abal. Ia mengajak pemerintah dan asosiasi pers bersama-sama membangun ekosistem media nasional yang sehat.

“Kami bersama Dewan Pers dan asosiasi-aaosiasi media yang tergabung dalam Task Force Media Sustainability menyadari hal ini, karena itu salah satu concern kita adalah media abal-abal,” ujar pendiri The London School of Public Relations (LSPR) tersebut.

Saat ini, tambah Kemal, tim Task Force sedang menyiapkan draft undang-undang yang terkait dengan platform global.

“Kita ini media mainstream yang sudah diverifikasi, jumlahnya tidak sampai 1000 yang sudah diverifikasi secara faktual. Sementara media yang bebas sebebas bebasnya ada 800 ribuan Pak Menko. Kita kayak dikeroyok,” tambahnya.

Dalam forum yang diikuti lebih 50 wartawan dari berbagai generasi ini, berbagai usulan dilontarkan oleh peserta diskusi untuk menghindari praktik jurnalisme yang tidak berhati-hati dan berempati di era pandemi. Misalnya, jurnalis senior Bambang Harymurti mengusulkan agar Dewan Pers mengaudit media-media nasional dan memberi peringkat khusus tentang kualitas jurnalistik masing-masing.

“Misalnya nanti diberi tanda hijau, kuning, atau merah, yang menandakan kualitas berita-berita medianya, agar publik sejak awal tahu akan berurusan dengan media jenis apa” ujar mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo tersebut.

Hadir dalam diskusi ini, selain Menko Polhukam, adalah Ketua Dewan Pers, M. Nuh, para anggota dewan pers, para pimpinan asosiasi pers, antara lain AJI, IJTI, AMSI, PWI, SPS, dan para pemimpin redaksi media nasional. Hadir juga Juru Bicara Wakil Presiden, Masduki Baidlowi, dan Juru Bicara Menteri BUMN, Arya Sinulingga.

Selain Bambang Harymurti dan Kemal Gani, tokoh senior pers lain yang hadir dan ikut urun rembug antara lain Ilham Bintang, Rustam F. Mandayun, Mara Sakti Siregar, Henry Ch. Bangun, dan lain-lain.

Pemberitaan Media Harus Lebih Memotivasi Masyarakat Di Masa Pandemi

Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan bahwa dirinya dan juga banyak pejabat pemerintah kerap menjadi sasaran pemberitaan yang diplintir, melenceng dari fakta.

“Seharusnya media mainstream menjaga diri agar tidak ikut-ikutan menyebar sensasi dan hoax, agar lebih membuat pemberitaan yang obyektif dan menyejukkan serta memotivasi masyarakat,” ujar Mahfud MD.

Dirinya mengerti bahwa dalam penulisan judul-judul berita, ada teknik yang disebut Clickbait untuk membuat agar judul itu menarik, dan memancing orang untuk klik dan membaca.

“Buat saya, itu tidak masalah sepanjang yang dilakukan tidak mengarahkan pembaca untuk membuat kesimpulan salah atas judul berita itu. Apalagi kalau judulnya sudah jelas-jelas salah,” ujar Menko Mahfud.

Dalam diskusi daring, Menko menyampaikan, informasi yang beredar di publik dalam kondisi pandemi saat ini semakin mengkhawatirkan. Informasi palsu atau hoax merajalela, yang terutama bertebaran di media sosial.

Data terbaru misalnya, dari tanggal 23 Januari 2021 hingga 3 Agustus 2021, jumlah hoax tentang Covid-19 mencapai 1.827 hoax. Khusus untuk vaksin saja, ada 278 hoax.

Menurutnya, sebagian besar sudah dilakukan take down, tapi hoax terus tumbuh, muncul setiap hari dan semakin banyak. Akibatnya, masyarakat yang menjadi korban.

“Nah, pada titik ini, peran teman-teman media sangat dibutuhkan, untuk mengimbangi dengan berita-berita yang kredibel dan mencerahkan publik. Jangan sampai justru tergoda untuk ikut membuat angle atau judul berita yang sensasional menyerupai hoax di media sosial,” ujar Menko.

Mantan anggota Dewan Pers, Imam Wahyudi yang juga hadir dalam pertemuan ini menegaskan, esensi dari kemerdekaan pers adalah pers mengatur diri sendiri.

“Pers bukan hanya membuat peraturannya sendiri, tapi juga menertibkan dirinya sendiri. Tapi kenyataannya, pers tidak sanggup mengatur diri sendiri,” ujar mantan Ketua Umum IJTI ini.

Meski begitu, Imam juga meminta pemerintah dan penegak hukum bersikap fair dalam menangani kasus sengketa pers.

“Mumpung ada Pak Mahfud, Mohon pak, saat ada kasus pers dimana Dewan Pers sudah menyelesaikan, tolong itu dihormati baik itu oleh Polisi dan Kejaksaan. Karena kalau kemudian keputusan Dewan Pers tidak dihormati, maka Dewan Pers tidak punya kekuatan dirinya sendiri, mengatur masalah pers,” tegas Imam.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Media Seber Indonesia (AMSI), Wenseslaus Manggut mengusulkan agar ada rapor yang dikeluarkan Dewan Pers secara rutin kepada media supaya berhati-hati dalam memproduksi konten berita.

“Saya kira yang relevan untuk internal industri media, mungkin memang perlu supaya kita ada rapor atau apa yang sifatnya mingguan. Mungkin dari dewan pers misalnya perlu didata temen-temen yang melanggar, tanpa menunggu pengaduan, karena kalau menunggu pengaduan prosesnya akan lama. Kalau tidak mengadu, teman-teman yang menulis salah, ya dia merasa aman-aman aja,” ujarnya.

Menurut Ketua Umum IJTI, Yadi Hendriyana, industri pers berkembang sangat pesat, sehingga situasinya berbeda dengan sebelum reformasi. Di era digital saat ini, media-media online yang mendominasi.

“Satu media online rata-rata per hari harus menerbitkan sekitar diatas 500 artikel. Artinya, bagi seorang Pemred itu adalah tantangan yang luar biasa. Sulit bagi Pemred bisa mengontrol 500 sampai seribu artikel per hari. Sementara kompetensi dari teman-teman jurnalis belum sepenuhnya memenuhi persyaratan, bagaimana seorang jurnalis harus bekerja,” ujar Yadi yang juga salah satu pimpinan media nasional tersebut.

Jurnalis senior dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Bambang Harymurti, mengusulkan agar Dewan Pers mengaudit media-media nasional dan memberi peringkat khusus tentang kualitas jurnalistik masing-masing.

“Misalnya nanti diberi tanda hijau, kuning, atau merah, yang memandakan kualitas berita-berita medianya, agar publik sejak awal tahu sedang berurusan dengan media jenis apa” ujar Bambang yang juga mantan anggota Dewan Pers. 

Yanis

Baca Juga: Rumah-murah-Rp200-juta-dekat-gor-persib-GBLA dan Stasiun Kereta Cepat Tegalluar