Beritainspiratif.com - “Yuk Nabung Saham”, masih ingat kan jargon ini? Dan masih ingatkah nasihat para orang tua kita di masa lalu yang mengajak kita menabung? Apa tujuannya?

Orang zaman dulu kebanyakan lebih rajin menabung untuk kebutuhan di masa depan, karena konsumerisme masa lalu tidak sedahsyat saat ini.

Orang tua atau kakek dan nenek kita tidak banyak pilihan untuk menghabiskan uang di masa mudanya, sebab ketika itu belum banyak pusat perbelanjaan.

Tidak ada café yang bertebaran di setiap pelosok seperti sekarang. Tidak ada transaksi online yang memudahkan orang berbelanja barang, kapan saja dan dari mana saja.

Baca Juga: Doni Monardo Pensiun, Letjen TNI Ganip Warsito Jabat Kepala BNPB Baru

Belum ada trip jalan-jalan dan berbagai barang branded yang gampang ditemukan. Sehingga, mereka lebih banyak menyimpan uang atau menabung.

Untuk apa uang yang mereka tabung? Untuk mereka bisa membeli rumah idaman mungkin 10-20 tahun kemudian, untuk biaya kuliah anak-anak mereka, dan untuk biaya hidup saat pensiun.

Nah, apakah cara ini bisa ditiru oleh para milenial atau keluarga muda masa kini? Jawabannya harus.

Simpanlah uang dalam jangka panjang lebih awal sebelum menggunakan uang yang kita miliki, untuk berbagai kebutuhan dan keinginan.

Berdasarkan survei dari GoBankingRatesh, generasi milenial jauh lebih boros ketimbang generasi lainnya.

Banyak individu yang menghabiskan uangnya untuk hal-hal yang sifatnya tidak esensial, seperti kopi, makan di luar, hiburan, pakaian, dan minuman.

Ketika dikelompokkan berdasarkan kelompok usia, generasi milenial menghabiskan uang lebih banyak dibandingkan generasi lainnya secara keseluruhan, terutama untuk pakaian dan makan di luar.

Padahal, jika anak-anak muda ini mau menghilangkan kebiasaan membeli kopi setiap hari atau pengeluaran lainnya yang tidak perlu, mereka dapat mengumpulkan uang lebih banyak dari waktu ke waktu.

Apalagi, jika anak-anak dan pasangan muda mau menggunakan uang itu untuk berinvestasi.

Nah, apa bedanya tabungan yang digunakan orang-orang tua masa lalu dengan investasi?

Kalau dulu, bunga tabungan masih memadai untuk mengatasi kenaikan harga barang dan jasa yang tidak selaju saat ini. Sementara itu, bagi masyarakat Indonesia yang sebagian besar merupakan warga negara konsumen, tingkat inflasi kenaikan barang pada jangka panjang akan melampaui tingkat suku bunga jika menabung di bank saja.

Terlebih lagi, semakin lama dan semakin maju sebuah negara, tingkat suku bunga akan mengecil.

Selain itu, kenaikan pendapatan secara umum belum tentu dapat mengungguli kenaikan harga barang. Jadi, cara yang paling ideal untuk mempersiapkan kebutuhan di masa depan, adalah dengan membagi porsi yang optimal dari dana yang disisihkan di luar kebutuhan pokok untuk berinvestasi.

Jadi ingat, investasi selayaknya bukan ditujukan untuk jangka pendek. Bukan investasi sekarang dan nikmati hasilnya satu minggu, satu bulan, atau satu tahun, melainkan idealnya investasi dilakukan untuk kebutuhan sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh tahun ke depan.

Nah, salah satu pilihan investasi jangka panjang yang memberi potensi return terbesar, adalah dengan membeli saham di pasar modal.

Jika ada sekelompok investor yang berinvestasi dalam jangka pendek dengan memanfaatkan strategi teknikal dari kenaikan dan penurunan harga saham yang dinamis di Bursa Efek Indonesia (BEI), hal ini lebih tepat disebut sebagai spekulasi dibandingkan investasi.

Para investor spekulan harus punya pengetahuan menganalisis fluktuasi saham dan siap untuk kehilangan dana investasinya sewaktu-waktu.

Sehingga, harus punya nyali yang kuat saat terombang-ambing oleh arus fluktuasi pasar. Di sisi lain, investor jangka panjang bisa tetap tenang karena hasil yang diinginkannya bukan untuk waktu yang singkat. Coba kita bayangkan seandainya saat ini kita membeli satu saham perusahaan di BEI di saat harga saham sedang turun karena dampak pandemi yang belum berakhir.

Harga saham yang sedang turun saat ini menjadikan momen ini waktu yang baik untuk memulai berinvestasi saham, karena kita dapat menikmati potensi keuntungan di masa mendatang.

Seperti yang kita ketahui, salah satu keuntungan dari investasi saham adalah dari selisih harga jual dan beli yang disebut capital gain. Selain itu, ada pula keuntungan dalam bentuk dividen saham yang dibagikan tiap tahun oleh perusahaan kepada pemegang saham.

Sehingga, jika kita membeli saham dengan harga rendah, akan semakin berpotensi memberi keuntungan besar dalam jangka panjang. Dengan catatan, abaikan fluktuasi dalam jangka pendek jika kita meyakini kinerja perusahaan secara internal baik.

Mari kita lihat contoh saham PT Astra International Tbk (ASII). Seumpama kita membeli saham ASII pada bulan April 2004 atau 17 tahun lalu. Ketika itu, harga per lembar saham ASII terendah di harga Rp505. Pada bulan Juli 2010, harganya sudah di atas Rp5.000. Harga saham ASII terus naik hingga mencapai level di atas Rp9.000 per saham pada bulan April 2017. Sehingga, kenaikan saham sempat mencapai 1.600%.

Jika bulan April 2004 kita menginvestasikan uang sebesar Rp10 juta dengan membeli saham ASII misalnya, maka uang kita akan bertambah menjadi Rp160 juta pada bulan April 2017. Luar biasa, kan?

Jadi, kalau kita mau menyisihkan uang untuk menabung saham secara berkala pada perusahaan yang bagus secara fundamental, maka hasilnya dapat kita nikmati pada tahun 2045 saat merayakan HUT kemerdekaan RI satu abad, di mana kita dapat memanen potensi keuntungan yang relatif besar.

Artikel ditulis Oleh: Reza Sadat Shahmeini

(Kepala Bursa Efek Indonesia Kantor Perwakilan Jabar)

(Ida)

Baca Juga: Rumah-murah-Rp200-juta-dekat-gor-persib-GBLA dan Stasiun Kereta Cepat Tegalluar