SF ITB: Penyemprotan Disinfektan Dapat Menimbulkan Resistensi Bakteri dan Virus



Bandung, Beritainspiratif.com - Akhir-akhir ini, marak digunakan bilik disinfeksi (disinfection chamber) di berbagai titik fasilitas umum, bahkan di titik masuk perumahan, untuk pencegahan penyebaran virus SARS-CoV-2 sebagai penyebab wabah COVID-19.

Penggunaan yang masif ini juga menggugah para peneliti dari berbagai universitas untuk membuat bilik disinfeksi tersebut dengan semangat yang sama, yaitu berkontribusi dalam penanganan wabah yang saat ini harus dihadapi bersama-sama oleh negeri ini.

Dilansir dari laman resmi Sekolah Farmasi ITB (28/3/2020), dengan diprakarsai Amirah Adlia, Andhika Bintang Mahardhika, Anita Artarini, Catur Riani, Hubbi Nashrullah Muhammad, Muhamad Insanu, Neng Fisheri Kurniati, Rika Hartati, dan Yuda Prasetya Nugraha telah melakukan penelitian dan memberikan tanggapan atas fenomena yang dilakukan masyarakat dalam membuat bilik disinfektan tersebut.

Pada umumnya cairan disinfektan yang digunakan untuk bilik disinfeksi tersebut meliputi  diluted bleach (larutan pemutih/natrium hipoklorit), klorin dioksida, etanol 70%, kloroksilenol, electrolyzed salt water, amonium kuarterner (seperti benzalkonium klorida), glutaraldehid, hidrogen peroksida (H2O2) dan sebagainya.

Atas hasil penelitian tersebut Sekolah Farmasi ITB (SF ITB) memberikan beberapa poin tanggapan sebagai berikut:

Disinfektan merupakan bahan kimia yang digunakan pada permukaan benda mati.

“Disinfeksi didefinisikan sebagai penggunaan bahan-bahan kimia yang dapat membunuh kuman/mikroba (bakteri, fungi, dan virus) yang terdapat di permukaan benda mati (non-biologis, seperti pakaian, lantai, dinding) (Centers for Disease Control and Prevention, CDC)”.

Waktu kontak disinfektan umumnya berada pada rentang 15 detik hingga 10 menit, sedangkan yang disemprotkan ke seluruh tubuh belum diketahui.

“Efektivitas dari disinfektan dievaluasi berdasarkan waktu kontak atau “wet time”, yakni waktu yang dibutuhkan oleh disinfektan tersebut untuk tetap berada dalam bentuk cair/basah pada permukaan dan memberikan efek “membunuh” kuman. Waktu kontak disinfektan umumnya berada pada rentang 15 detik sampai 10 menit, yakni waktu maksimal yang ditetapkan oleh United States Environmental Protection Agency (EPA)”.

“Waktu kontak efektif dan konsentrasi cairan disinfektan yang disemprotkan ke seluruh tubuh dalam bilik disinfeksi untuk membunuh mikroba belum diketahui, apalagi waktu kontak efektif terhadap virus SARS-CoV-2”.

EPA tidak menyarankan penggunaan produk disinfektan yang belum teruji.

“Pada konsep bilik desinfeksi, baik waktu kontak maupun konsentrasi efektif akan sulit dipenuhi. EPA tidak menyarankan penggunaan produk disinfektan yang belum teruji efikasinya jika digunakan dengan metode aplikasi lain seperti fogging, electrostatic sprayer atau penyemprotan”.

Belum ada data ilmiah, terkait efektivitas, metode ini dalam membunuh mikroba.

“Hingga saat ini, belum ada data ilmiah yang menunjukkan berapa persen area tubuh yang “terbasahi” cairan disinfektan dalam bilik ini serta seberapa efektif metode ini dalam membunuh mikroba”.

Penyemprotan dalam bilik membahayakan, karena bisa jadi ada virus yang tersisa dari pengguna.

“Ketika disinfektan disemprotkan dalam bilik ini, bisa jadi virus justru menyebar ke area yang tidak terbasahi oleh cairan ini. Hal ini dapat membahayakan pengguna bilik selanjutnya jika ada virus yang “tersisa” di dalam bilik dan terhirup pengguna tersebut”.

WHO menyebut, penyemprotan akan membahayakan mata dan mulut.

“World Health Organization (WHO) tidak menyarankan penggunaan alkohol dan klorin ke seluruh permukaan tubuh karena akan membahayakan pakaian dan membran mukosa tubuh seperti mata dan mulut”.

Perawat yang membersihkan alat medis dengan disinfektan secara rutin tiap minggu, berdampak kerusakan pada paru-paru kronik.

“Penelitian yang dipublikasikan pada JAMA Network Open Oktober 2019 menemukan bahwa sebanyak 73.262 perawat wanita yang rutin tiap minggu menggunakan disinfektan untuk membersihkan permukaan alat-alat medis berisiko lebih tinggi mengalami kerusakan paru-paru kronik”.

WHO menyebut penggunaan (Cl2) dan (ClO2) dapat berakibat iritasi parah pada saluran pernafasan.

“Inhalasi gas klorin (Cl2) dan klorin dioksida (ClO2) dapat mengakibatkan iritasi parah pada saluran pernafasan (WHO)”.

Penggunaan larutan hipoklorit secara terus menerus dapat mengakibatkan kulit terbakar.

“Penggunaan larutan hipoklorit pada konsentrasi rendah secara terus menerus dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan iritasi kulit dan kerusakan pada kulit. Dan penggunaannya pada konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan kulit terbakar parah. Walaupun data masih terbatas, inhalasi hipoklorit (OCl) dapat menimbulkan efek iritasi ringan pada saluran pernafasan”.

Penggunaan Kloroksilenol dapat berakibat komplikasi serius hingga terjadinya kematian.

“Studi pada hewan menunjukan bahwa kloroksilenol menyebabkan iritasi kulit ringan dan iritasi mata parah. Kematian terjadi pada dosis tinggi (EPA). Studi medis yang dilakukan di Hong Kong, dimana melibatkan 177 kasus keracunan cairan antiseptik komersial yang mengandung kloroksilenol, menunjukkan komplikasi serius pada 7% pasien hingga terjadinya  kematian”.

Penyemprotan disinfektan dapat menimbulkan resistensi bakteri dan virus.

“Penyemprotan disinfektan ke tubuh manusia, udara, dan jalan raya dipandang tidak efektif.  Selain itu, penggunaan berlebihan disinfektan berpotensi menimbulkan bahaya bagi kesehatan dan lingkungan. Salah satunya adalah timbulnya resistensi, baik resistensi bakteri ataupun virus terutama apabila disinfektan tidak digunakan pada konsentrasi idealnya”.

Jika penyemprotan disinfektan aman dan efektif, dia hanya berfungsi untuk membersihkan  permukaan tubuh atau pakaian saja, dan tidak menyembuhkan pasien virus corona.

“Jika disinfektan semprot memang terbukti aman dan efektif secara ilmiah, edukasi lain yang perlu disampaikan kepada masyarakat adalah bilik disinfeksi ini hanya berfungsi untuk membersihkan permukaan tubuh atau pakaian saja (mengurangi jumlah mikroba) dan tidak menyembuhkan pasien yang telah terjangkit virus corona atau jika virus sudah masuk ke dalam tubuh orang tersebut. Masyarakat harus tetap berupaya untuk mencegah pemaparan virus SARS-CoV-2 sesuai dengan poin 12”.

WHO menyebut solusi aman untuk pencegahan virus corona adalah dengan cuci tangan minimal 20 detik.

“Solusi aman untuk pencegahan pemaparan virus SARS-CoV-2 saat ini sesuai rekomendasi WHO adalah dengan cuci tangan menggunakan sabun (minimal 20 detik), mandi serta mengganti pakaian setelah melakukan aktivitas dari luar atau dari tempat yang terinfeksi tinggi, serta menerapkan physical distancing (minimal 1 meter)”. (*)

Yanis

Berita Terkait