Sejarah Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar)



Beritainspiratif.com - Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) merupakan peristiwa terjadinya proses perpindahan kekuasaan,  meskipun misteri masih menyelimuti tentang peristiwa apa yang sebenarnya terjadi pada 11 Maret 1966 tersebut.

Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno pada 11 Maret 1966.

Surat ini berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu, terkait kisruh politik dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Supersemar ini adalah versi yang dikeluarkan dari Markas Besar Angkatan Darat yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah. Sedangkan berbagai kalangan sejarawan Indonesia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi Supersemar. Sehingga sampai saat ini masih ditelusuri naskah supersemar asli yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor.

Seperti dikutip dari laman resmi KemenPAN-RB, www.menpan.go.id, hingga 2013, setidaknya ada empat versi Supersemar yang disimpan oleh pihak Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Keempat versi itu berasal dari tiga instansi, yakni satu versi dari Pusat Penerangan (Puspen) TNI AD, satu versi dari Akademi Kebangsaan, dan dua versi dari Sekretariat Negara (Setneg).

Yang menjadi pegangan selama Orde Baru adalah versi pertama dari Puspen TNI AD.

Seperti dilansir dari Wikipedia, versi resmi, awalnya keluarnya supersemar terjadi ketika pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dikenal dengan nama "kabinet 100 menteri".

Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai panglima pasukan pengawal presiden' Tjakrabirawa melaporkan bahwa banyak "pasukan liar" atau "pasukan tak dikenal" yang belakangan diketahui adalah Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S di antaranya adalah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.

Berdasarkan laporan tersebut, Presiden bersama Wakil perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh berangkat ke Bogor dengan helikopter yang sudah disiapkan.

Sementara Sidang akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr.J. Leimena yang kemudian menyusul ke Bogor. Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto yang pada saat itu selaku Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI itu.

Mayor Jendral (Mayjen) Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit. (Sebagian kalangan menilai ketidakhadiran Soeharto dalam sidang kabinet dianggap sebagai sekenario Soeharto untuk menunggu situasi. Sebab dianggap sebagai sebuah kejanggalan).

Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amirmachmud, dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat.

Setibanya di Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Mayjen Soeharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan.

Menurut Jendral (purn) M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno hingga pukul 20.30 malam. Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret yang populer dikenal sebagai Supersemar yang ditujukan kepada Mayjen Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
 
Surat Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 pukul 01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD Brigjen Budiono. Hal tersebut berdasarkan penuturan Sudharmono, di mana saat itu ia menerima telpon dari Mayjen Sutjipto, Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966 sekitar pukul 10 malam.

Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran PKI disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah Pangkopkamtib yang dijabat oleh Mayjen Soeharto. Bahkan Sudharmono sempat berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai Supersemar itu tiba.***

Berbagai sumber

Berita Terkait