Majelis Musyawarah Sunda (MMS) saat melakukan refleksi 2025 serta resolusi strategis 2026 di Bandung, Selasa, (30/12/2025) / dok. MMS
Kota Bandung, Beritainspiratif.com - Menutup tahun 2025, Majelis Musyawarah Sunda (MMS) melakukan refleksi 2025 serta resolusi strategis 2026 sebagai telaah menyeluruh atas dinamika kebangsaan, kebudayaan, dan tata kelola wilayah Sunda Raya.
Hal tersebut juga menegaskan Manifesto MMS dari Musyawarah Tahunan II MMS, 22 November lalu, sekaligus menekankan posisi MMS sebagai ruang musyawarah kultural politik yang terus bergerak menuju agenda kebijakan serta kerja nyata lintas wilayah/komunitas.
Ketua Badan Pekerja MMS Andri P. Kantaprawira menegaskan, tuntutan ruang musyawarah tersebut tidak boleh disederhanakan dalam kerangka legitimasi kekuasaan semata. Terlebih, dunia digital yang bising menuntut negara dan pemerintah bersikap lebih dewasa membaca suara publik.
“Tuntutan publik jangan dianggap ancaman legitimasi negara, sebagaimana dukungan publik juga tidak boleh serta merta dijadikan pembenaran kinerja. Yang terpenting kinerja teknokrasi pemerintah mampu dijelaskan ke publik melalui komunikasi yang baik, holistik, dan terintegrasi lintas sektor,” ujarnya di Bandung, Selasa (30/12/2025).
Baca Juga: Hasil Drawing Babak 16 Besar ACL Two: PERSIB Jumpa Ratchaburi FC
Baca Juga: Nyalakan Petasan dan Kembang Api Malam Tahun Baru di KOTA BANDUNG, Di Sanksi TIPIRING!
Jumhur Hidayat, Dewan Pakar MMS, mengatakan, tahun 2025 banyak anomali praktek negara. Semisal BUMN harus jualan properti yang ranah swasta sebaliknya swasta malah garap tambang bernilai triliunan rupiah yang justru domain swasta.
"Saya lihat juga ada gap execution Presiden Prabowo, apa yg diinginkan ternyata di lapangan belum sepenuhnya ideal," katanya.
Pinisepuh MMS Burhanuddin Abdullah mengatakan, Indonesia kekurangan sumber daya mumpuni dalam mewujudkan semua visi ideal.
"Kita perlu minimal 30 persen sarjana sementara sekarang baru 7%. Kita juga masih nomor 72 dalam global index competitiveness dengan paten baru 84 per 1 juta penduduk. Maka itu, Presiden Prabowo mendirikan sekolah di mana-mana untuk tingkatkan SDM Indonesia," ungkapnya.
Refleksi MMS juga menyoroti cara negara memandang solidaritas sipil, khususnya dalam situasi krisis dan bencana terbaru. Dalam pengalaman global, solidaritas warga justru menjadi aset demokrasi, bukan ancaman bagi negara.
“Negara yang percaya diri tidak takut dibantu rakyatnya sendiri. Dalam setiap bencana besar, solidaritas sipil justru menjadi penguat legitimasi, bukan pelemah,” kata Andri.
Bencana, menurut MMS, adalah momentum membangun kembali kepercayaan sosial bahwa bangsa ini masih satu komunitas dengan nasib saling terikat. Dan kedaulatan tidak cukup dinyatakan melalui pidato, melainkan harus dibuktikan melalui kehadiran negara yang nyata di lapangan.
Ia menambahkan, kedaulatan hari ini harus juga dimaknai utuh yakni berdaulat secara ekonomi, berkeadilan secara sosial, dan berkelanjutan secara ekologis. Ketiganya merupakan fondasi persatuan nasional yang melampaui batas suku, wilayah, dan kelompok keumatan.
“Rakyat tidak membutuhkan retorika. Mereka membutuhkan dapur umum yang berfungsi, pengungsian yang layak, distribusi logistik yang adil, dan kehadiran negara yang bisa dirasakan langsung,” tegasnya.
Baca Juga: TVRI Pegang Hak Siar Seluruh Pertandingan Piala Dunia 2026, GRATIS!
Refleksi 2025 juga menggarisbawahi, sebelum istilah ekonomi berbagi dan ekonomi sirkular jadi tren global, masyarakat Nusantara telah lama mempraktikkannya. Gotong royong di Jawa, sasi di Maluku dan Papua, subak di Bali, mapalus di Minahasa, serta sistem rantau di Minangkabau menjadi bukti bahwa budaya Nusantara memiliki perangkat ekonomi kolaboratif berakar kuat.
Secara kelembagaan, MMS memandang tahun 2025 sebagai fase inisiasi revitalisasi peran karena MMS telah berhasil melakukan konsolidasi gagasan melalui penyusunan Policy Brief dan Manifesto Sunda yang komprehensif. Namun demikian, organisasi ini juga mengidentifikasi kesenjangan implementasi yang masih signifikan, terutama antara kontribusi ekonomi dan alokasi anggaran untuk Jawa Barat dan Banten yang belum teratasi. Kemudian, kolaborasi lintas aktor politik dan kultural masih bersifat ad hoc sementara respons birokrasi terhadap agenda kebudayaan dan kurikulum muatan lokal masih lamban.
Refleksi menyimpulkan, MMS relatif berhasil pada tahap membangun kesadaran kolektif tetapi masih menghadapi pekerjaan rumah besar pada tahap mobilisasi sumber daya dan eksekusi kebijakan.
“Tapi di sisi lain, MMS mencatat capaian penting dalam membangun dialog lintas komunitas suku. Kolaborasi akhir tahun kami sudah melibatkan tokoh Aceh, Batak, Minang, Manado, Palembang, dan Makassar di Jawa Barat sebagai fondasi penting bagi solidaritas kebangsaan yang setara dan saling menghormati,” sambungnya.
Baca Juga: Pemkot Bandung Akan Bongkar dan Desain Ulang Teras Cihampelas
Adapun tokoh tersebut adalah Drs.Zulkifli Adam M (Ketua Pembina Aceh Jabar), Drs. Pontas Hutagalung MSc. (Pembina Batak Jabar/Ex Staff Ahli Kemenhan RI), Ir Zulkifli Chaniago (Pembina Padang Jabar/Anggota DPRD Jabar), Ir. Jesse Monintja MA. (Pembina Menado Jabar/Ex GM.Pertamina), Khairul Subki (Pembina Palembang Jabar/ex Staff Ahli Rizal Ramli), dan Drs. Rum Aly MM (Tokoh Makassar Jabar/Redaktur Indonesia Raya).
Memasuki 2026, MMS menetapkan sejumlah resolusi strategis. Di antaranya penyelenggaraan Idul Fitri Sa-Tatar Sunda di Jakarta April 2026, dialog rutin mengenai relasi Sunda, masyarakat, dan negara, serta pengoperasionalan Manifesto Sunda dari Musyawarah Tahunan ke-2 November 2025 pada ranah kebijakan.
Pinisepuh MMS Dr Indra Prawira menyebutkan, sebagaimana pemikiran pahlawan nasional asal Sunda Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja, hukum di tahun 2026 harus menjadi pedoman arah pembangunan masyarakat, rekayasa sosial, keadilan dan kemakmuran bersama, serta membangun peradaban baru.
“Agar bangsa ini mampu sejajar bangsa-bangsa lain, untuk itu ketegasan pemerintah menegakkan konstitusi dan perundang-undangan yang berpihak pada rakyat dan negara merupakan kunci negara ini keluar dari berbagai Paradoks Indonesia yang membelitnya,” ujarnya.
MMS juga akan mendorong pembentukan Sekretariat Bersama Sunda Raya yang melibatkan Jawa Barat, Banten, dan Daerah Khusus Jakarta guna menyusun Regional Masterplan Sunda Raya dengan fokus penanganan banjir, pengelolaan daerah aliran sungai, dan integrasi transportasi.
Agenda lingkungan juga menjadi pilar utama resolusi 2026 melalui advokasi moratorium alih fungsi lahan, audit lingkungan proyek strategis nasional, serta penguatan perlindungan lahan pertanian dan kawasan resapan air. Sebab, kegagalan mengelola alam sudah mengubah bencana ekologis menjadi krisis legitimasi politik.
Selain itu, MMS akan membentuk Gugus Kerja Keadilan Fiskal bersama komunitas Banten dan Betawi untuk menyusun peta kesenjangan fiskal Sunda Raya serta mendorong revisi kebijakan perimbangan keuangan negara. Di bidang ekonomi, MMS menargetkan penguatan Ekonomi Juara melalui pengembangan koperasi modern dan jejaring Simpay Saudagar Sunda yang menghubungkan produsen desa dengan pasar perkotaan secara langsung.
“Resolusi 2026 adalah panggilan untuk bekerja lebih terukur, lebih berani, dan lebih kolaboratif. Sunda Raya tidak boleh hanya menjadi identitas kultural, tetapi harus menjadi subjek kebijakan yang adil dan berdaulat,” tutup Andri. (**)