Permendagri Baru: Dukcapil Temukan Nama Bermakna Negatif Hingga Asusila di KTP

ilustrasi (Ist)


Jakarta, Beritainspiratif.com - Pemerintah melalui Kemendagri menerbitkan Peraturan  Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencatatan Nama Pada Dokumen Kependudukan.

Dalam pasal 4 ayat 2, Permendagri mengatur kaidah pencatatan nama pada dokumen kependudukan. Antara lain mudah dibaca, tidak bermakna negatif, dan tidak multitafsir; jumlah huruf paling banyak 60 huruf termasuk spasi; serta jumlah kata paling sedikit dua kata.

"Tata cara pencatatan nama pada dokumen kependudukan dilarang disingkat, kecuali tidak diartikan lain," demikian bunyi pasal 5 ayat 3 poin a.

Dikutip dari laman Dukcapil Kemendagri dijelaskan bahwa nama merupakan penyebutan untuk memanggil seseorang sebagai identitas diri. Berdasarkan basis data kependudukan (database SIAK), terdapat nama-nama yang jumlah huruf terlalu banyak. 

Baca Juga: Target Selesai 2027, Inilah Kendaraan yang Diprioritaskan Berplat Putih

Ada pula nama panjang melebihi ketentuan karakter pada aplikasi dan formulir dokumen.

Contoh: Ikajek Bagas Paksi Wahyu Sarjana Kesuma Adi, Emeralda Insani Nuansa Singgasana Pelangi Jelita Dialiran Sungai Pasadena.  

Terdapat pula nama yang terdiri dari satu huruf, dan nama yang disingkat sehingga dapat diartikan berbagai macam.

Contoh: A,  M. Panji, A Hakam AS Arany, K D Katherina Hasan. 

Juga ada nama yang mempunyai makna negatif.

Contoh: Jelek, Orang Gila, H. Iblis, Aji Setan, Neraka IU. 

Banyak pula nama yang bertentangan dengan  norma kesusilaan,

Contoh: Pantat, Aurel Vagina, Penis Lambe.

Malah ada juga nama yang merendahkan diri sendiri dan bisa menjadi bahan perundungan.

Contoh: Erdawati Jablay Manula, Lonte, Asu, Ereksi Biantama. 

Selain itu, ada nama-nama yang berpengaruh negatif pada kondisi anak. Contoh: Tikus, Bodoh, Orang Gila. 

Ada juga yang menamakan anak menggunakan nama lembaga negara, mewakili atau menyerupai jabatan, pangkat, penghargaan.

Contoh: Mahkamah Agung, Bapak Presiden, Polisi, Bupati, Walikota.

Baca Juga: Kota Bandung Resmikan Kolam Retensi ke-8 di Pussenkav TNI AD

Dampak
Memperhatikan contoh nama tadi dapat mengakibatkan antara lain: nama yang terlalu panjang akan menyebabkan sulitnya penulisan nama lengkap pada basis data maupun dokumen fisik (Akta lahir, KTP-el, KIA, SIM, paspor, STNK, ijazah  dan ATM Bank). 

Ini menyebabkan perbedaan penulisan nama seseorang pada dokumen yang dimiliki oleh satu orang yang sama akibat keterbatasan jumlah karakter pada masing-masing dokumen. 

Sebagai contoh, panjang nama di KTP-el akan jatuh ke baris kedua dan terpotong jika lebih dari 30 karakter. Di samping itu, nama-nama yang bermakna negatif, bertentangan dengan norma agama, kesopanan dan kesusilaan akan menjadi beban pikiran terhadap perkembangan anak sampai ia dewasa, seumur hidup. Bahkan sampai dia berketurunan, karena nama diberikan hanya sekali dalam seumur hidup.

Tujuan
Dirjen Zudan menjelaskan, bahwa setiap penduduk memiliki identitas diri dan negara harus memberikan pelindungan dalam pemenuhan hak konstitusional dan tertib administrasi kependudukan. 

Selain itu, pencatatan nama pada dokumen kependudukan perlu diatur sebagai pedoman bagi penduduk dan pejabat yang berwenang melakukan pencatatan untuk memudahkan pelayanan publik. 

Tujuan aturan ini dibuat untuk sebagai pedoman pencatatan nama, pedoman dalam penulisan nama pada dokumen kependudukan, meningkatkan kepastian hukum pada dokumen kependudukan.

"Sekaligus memudahkan dalam pelayanan administrasi kependudukan, perlindungan hukum, pemenuhan hak konstitusional dan mewujudkan tertib administrasi kependudukan," urai Zudan.

Isi Pokok
Melalui Permendagri Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencatatan Nama Pada Dokumen Kependudukan dijelaskan bahwa pencatatan nama adalah penulisan nama penduduk untuk pertama kali pada dokumen kependudukan.

Pencatatan nama pada dokumen kependudukan dilakukan sesuai prinsip norma agama, norma kesopanan, norma kesusilaan, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Antara lain syaratnya mudah dibaca, tidak bermakna negatif, dan tidak multitafsir, jumlah huruf paling banyak 60 huruf termasuk spasi dan jumlah kata paling sedikit dua kata. 

Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan anak dalam pelayanan publik lainnya. Contohnya pendaftaran sekolah, ketika si anak diminta guru menyebutkan namanya, dalam pembuatan ijazah, paspor dan lain sebagainya. 

"Jika ada nama orang hanya satu kata, disarankan, dihimbau untuk minimal dua kata, namun jika pemohon bersikeras untuk satu kata, boleh. Hal ini hanya bersifat himbauan dan namanya tetap bisa dituliskan dalam dokumen kependudukan," Zudan menjelaskan. 

Alasan minimal dua kata adalah lebih dini dan lebih awal memikirkan, mengedepankan masa depan anak. Contoh ketika anak mau sekolah atau mau ke luar negeri untuk membuat paspor minimal harus dua suku kata, nama harus selaras dengan pelayanan publik lainnya.

Baca Juga: Permendagri Baru: Penulisan Nama di KTP Tak Boleh Satu Kata

Tata cara pencatatan nama pada dokumen kependudukan meliputi, menggunakan huruf latin sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, nama marga, famili atau yang disebut dengan nama lain dapat dicantumkan pada Dokumen Kependudukan, dan gelar pendidikan, adat dan keagamaan dapat dicantumkan pada kartu keluarga dan kartu tanda penduduk elektronik yang penulisannya dapat disingkat.

Lebih jauh, Zudan menjelaskan, dalam tata cara pencatatan nama pada dokumen kependudukan ini dilarang disingkat, kecuali tidak diartikan lain. Artinya, boleh disingkat namun harus konsisten dengan singkatan tersebut, tidak boleh berubah-ubah selamanya. Sebab akan berlaku seumur hidup pada dokumen kependudukan dan dokumen pelayanan publik lainnya.

Contoh: nama seseorang Abdul Muis, jika pemohon meminta untuk disingkat namanya menjadi Abd Muis boleh saja, namun selamanya akan Abd Muis. Inilah namanya. Abd tidak dianggap lagi sebagai singkatan tetapi sudah menjadi nama.

"Di samping itu, tidak boleh menggunakan angka dan tanda baca. Dan juga tidak boleh mencantumkan gelar pendidikan dan keagamaan pada akta pencatatan sipil. Akta pencatatan sipil itu antara lain akta kelahiran, perkawinan, perceraian dan kematian," papar Zudan. 

Untuk penerapan aturan ini, tentunya pejabat pada Disdukcapil kabupaten/kota, UPT Disdukcapil kabupaten/kota, atau kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri agar melakukan pembinaan kepada penduduk mengenai prinsip, persyaratan, dan tata cara pencatatan nama. 

"Pembinaan yang dimaksud dilakukan untuk memberikan saran, edukasi dan informasi guna pelindungan kepada anak sedini mungkin. Agar pencatatan nama pada dokumen si Anak sesuai dengan aturan," ujarnya. 

Penduduk yang memaksakan mencatatkan nama anaknya lebih dari 60 karakter termasuk spasi dan disingkat atau diartikan lain; menggunakan angka dan tanda baca dan mencantumkan gelar pendidikan dan keagamaan pada akta pencatatan sipil--padahal pejabat dan petugas Dukcapil telah memberikan saran, edukasi dan informasi kepada masyarakat tersebut--namun masih mengabaikan, maka dokumen kependudukan belum dapat diterbitkan, sampai masyarakat mematuhi sesuai aturan. 

Hal ini dilakukan untuk kebaikan dan perlindungan bagi perkembangan anak ke depan.

"Lebih tegas kepada pejabat dan petugas yang tetap mencatatkannya dan tidak sesuai aturan maka diberikan sanksi administratif berupa teguran secara tertulis dari Menteri melalui Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil," jelasnya lagi.

Tetap Berlaku
Pada saat Permendagri ini mulai berlaku, maka Pencatatan Nama pada Dokumen Kependudukan yang telah dilaksanakan sebelumnya, dinyatakan tetap berlaku. Maksudnya, bagi nama penduduk yang sudah tercatat pada data kependudukan yang sebelum diundangkannya Pemendagri Nomor 73 Tahun 2022, maka dokumen yang telah terbit sebelumnya dinyatakan tetap berlaku. Permendagri ini diundangkan pada tanggal 21 April 2022.

Menteri Dalam Negeri Prof HM Tito Karnavian meminta jajaran Dukcapil Pusat dan Daerah untuk segera mensosialisasikan aturan ini agar masyarakat bisa memahami dengan baik dan mengimplementasikannya. Dukcapil***

(YI)

Baca Juga: 

Berita Terkait

  • Ramadhan & Idul Fitri
  • 17 Apr 2024
30 Persen Pemudik Belum Kembali ke Jakarta