Bio Farma Sudah Diakui WHO,  Targetkan Kenaikan Laba 10,6% di Tahun 2018



Bandung, Beritainspiratif. com-Produsen vaksin Bio Farma menargetkan pertumbuhan laba bersih Rp 580 miliar atau naik sebesar 10,6 % dari pencapaian 2017.

Bio Farma juga tengah menggenjot pertumbuhan penjualan produk hingga 9,3 % sampai akhir tahun.

"Tahun ini kami fokus pada peningkatan penjualan untuk semua produk Bio Farma, 50 % pendapatan masih didapatkan dari penjualan vaksin polio untuk ekspor ke sejumlah negara di dunia," ujar Corporate Secretary Bio Farma, Bambang Heriyanto baru baru ini.

Bambang menegaskan perseroan juga menganggarkan belanja modal (capec) sebesar Rp 1,1 triliun dan alokasi dana ini digunakan untuk pengembangan fasilitas vaksin pentabio yang terdiri dari 5 komponen dalam satu produk.

"Pengembangan fasilitas untuk vaksin pentabio juga menjadi bagian dari upaya kami untuk mengekspansi produk di beberapa negara seperti Argentina, Mesir, Srilanka dan sejumlah negara yang tergabung dalam OKI," ungkap Bambang.

Sementara itu Project Integration Manager Research and Development Division, Neni Nurainy menjelaskan pada tahun 2025 Bio Farma membidik target sebagai 15 besar pemain farmasi di tingkat global.

Sampai 2017, Indonesia  baru meraih porsi 20 % dari pasar vaksin di tingkat Asean.

"Pada 2025 bisnis vaksin di dunia diprediksi mencapai angka Rp 700 Triliun. Bio Farma juga tengah mempersiapkan target untuk menjadi bagian dari 15 besar pemain farmasi di dunia tersebut," papar Neni.

Neni menambahkan pihaknya optimistis akan mencapai target di tahun 2025, karena salahsatu pendorongnya Produk Bio Varma masuk pada jajaran perusahaan vaksin di Asia yang sudah diakui oleh WHO.

"Di kawasan Asia terdapat 7 produsen vaksin dan hanya 2 yang sudah diakui oleh WHO, salahsatunya Bio Farma, maka dengan peluang ini diharapkan bisa mengekspansi produk di 130 negara tujuan ekspor, selain produk imunologi, Bio Farma juga sangat berpeluang untuk memproduksi produk biosimilar seperti obat antikanker dan diabetes," kata Neni.

Para peneliti meramalkan, di tahun 2030 penyakit non infeksi jumlahnya akan semakin meningkat, sementara kasus penyakit infeksi justru grafiknya akan menurun signifikan, sehingga melihat kondisi tersebut, Indonesia harus segera mengembangkan inovasi biosimilar yang perannya sebagai terapi pengobatan.

"Masa depan Bio Farma juga semakin fokus pada pengembangan bio similar, tidak hanya mengembangkan vaksin pencegahan, bio smilar atau produk obat yang dibuat generik dari originator ini juga penting untuk beberapa penyakit seperti kanker," tandasnya.

Neni menambahkan, dalam pengobatan kanker, antibodi monoklonal ini bekerja menekan pertumbuhan sel kanker payudara yang diakibatkan oleh ekspresi berlebihan protein HER2.

Pembuatan senyawa kompleks yang diproduksi pada sistem biologi, akan sangat berbeda dengan pembuatan obat kimia sederhana seperti aspirin.

"Misalnya jika dianalogikan, pembuatan aspirin seperti pembuatan sepeda yang terdiri dari 15 bagian, namun trastuzumab terdiri dari 13.000 bagian seperti halnya pembuatan pesawat boeing. Dengan kemampuannya yang lebih kompleks, diharapkan produk ini dapat memiliki khasiat optimal dalam upaya pengobatan kanker payudara," tegasnya.

Neni mengungkapkan saat ini tim litbang Bio Farma juga sepakat menginovasi trastuzumab menjadi produk biosimilar yang berkualitas sebagaimana produk dari originator yang  sudah ada di pasaran, bahkan berupaya untuk membanderol harga obat ini dengan harga yang lebih kompetitif ditargetkan usai pada tahin 2023. (Dudy)

Foto : sepanjangjk.wordpress.com

Berita Terkait