Pangeran Diponegoro dan Keris Pusaka Kiai Bondoyudo yang Terkubur Bersamanya



Beritainspiratif.com - Pasca ditemukannya keris Pangeran Diponegoro beberapa waktu lalu, akhirnya Raja Belanda Willem Alexander menyerahkan secara langsung sebilah keris kepada Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (10/3/2020).

Keris tersebut diketahui tersimpan di Museum Volkenkunde, Leiden, Belanda, selama ini keberadaan keris tersebut sempat menjadi teka-teki setelah Koninklijk Kabinet van Zeldzaamheden (KKZ) bubar. KKZ merupakan tempat koleksi khusus kabinet Kerajaan Belanda.

Sejarah Singkat Perang Diponegoro

Dikutip dari Wikipedia Indonesia, Perang Diponegoro dikenal dengan sebutan Perang Jawa yakni satu perang terbesar yang berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di Pulau Jawa, yang melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock.

Akibat perang ini, penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 jiwa, sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi.

Mulainya perang

Pada pertengahan bulan Mei 1825, Smissaert memutuskan untuk memperbaiki jalan-jalan kecil di sekitar Yogyakarta. Pembangunan jalan yang awalnya dari  Yogyakarta  ke  Magelang  melewati  Muntilan  dibelokkan menjadi melewati pagar sebelah timur Tegalrejo, yang melintasi makam leluhur dari Pangeran Diponegoro.

Diponegoro baru mengetahui setelah patok-patok dipasang. dan perseteruan terjadi antara para petani penggarap lahan dengan anak buah Patih Danurejo sehingga patok-patok yang telah dicabut tersebut, kembali dipasang sehingga Pangeran Diponegoro menyuruh mengganti patok-patok dengan tombak sebagai pernyataan perang.

Penyerangan di Tegalrejo menandai dimulainya perang Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun.

Diponegoro memimpin masyarakat Jawa, dengan semangat;

"Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; "sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati".

Sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Bahkan Diponegoro juga berhasil memobilisasi para bandit profesional yang sebelumnya ditakuti oleh penduduk pedesaan, meskipun hal ini menjadi kontroversi tersendiri. 

Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.

Jalannya Peperangan

Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan pasukan infantrikavaleri  dan  artileri di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit.

Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerja sama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malariadisentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak", melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka.

Pencarian Diponegoro di Magelang.

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit.

Pada tahun 1829Kyai Mojo, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya  Alibasah Sentot Prawirodirjo  menyerah kepada Belanda.

Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan.

Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Keris yang Dikubur Bersama Pangeran Diponegoro
Dikutip dari Historia.id, Diponegoro memiliki banyak pusaka, namun hanya satu yang dikubur bersamanya: keris Kiai Bondoyudo, penguasa semua roh.

Pangeran Diponegoro memiliki banyak senjata pusaka berupa keris dan tombak. Sebagian besar pusakanya diberikan kepada putra dan putrinya, kecuali satu keris yang menyertainya ke liang lahad.

Diponegoro memberikan keris Kiai Bromo Kedali (cundrik) dan tombak Kiai Rondan kepada Pangeran Diponegoro II; keris Kiai Habit (Abijoyo?) dan tombak Kiai Gagasono kepada Raden Mas Joned; keris Kiai Blabar dan tombak Kiai Mundingwangi kepada Raden Mas Raib.

Keris Kiai Wreso Gemilar dan tombak Kiai Tejo diberikan kepada Raden Ayu Mertonegoro; keris Kiai Hatim dan tombak kiai Simo kepada Raden Ayu Joyokusumo; tombak Kiai Dipoyono kepada Rade Ajeng Impun; dan tombak Kiai Bandung kepada Raden Ajeng Munteng.

Sejarawan Peter Carey mendata pusaka tersebut dalam biografi Pangeran Diponegoro, Kuasa Ramalan bagian apendiks XI. ***

Yanis

Berita Terkait