Pilpres dan Penyesatan Dalil



Oleh : Adlan Daie (Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat)

Seorang muballigh, yang dikenal publik dengan sapaan Gus nur, via media sosial youtube, menshare ceramahnya, di Masjid Jami, Semanggi, Jakarta pada 23 April 2018, yang pada pokoknya memfatwakan " Haram Pilih Jokowi" dalam kontestasi Pilpres 2019.

Sebuah pilihan diksi "haram" yang sangat menyesatkan karena beberapa hal :

Pertama, dari sisi dalil naqli, tidak ada satu pun dalil baik dalam Qur'an maupun hadist yang menjustifikasi "haramnya" memilih Jokowi sebagai presiden. Pilihan diksi " Haram Pilih Jokowi" yang dengan sadar diulang-ulang dalam ceramahnya untuk meyakinkan jemaahnya bukan saja sesat dan menyesatkan, lebih dari itu, seolah-olah Jokowi yang juga beragama Muslim sejak kelahirannya, di framing sebagai musuh umat Islam.

Kedua, dalam kitab-kitab Syiasah, atau literatur Islam klasik tentang kepemimpinan semisal kitab "Al ahkam as sulthoniah" nya Al mawardi, dan " Al muqadimah" nya Ibnu Khaldun, jelas tekanan kepemimpinan dalam Islam adalah integritas, jujur, adil dan berpihak pada kepentingan umum. Dalam konteks inilah seharusnya kita menimbang kepemimpinan Jokowi. Artinya, meskipun tidak sempurna, kepemimpinan Jokowi telah berikhtiar dengan sungguh-sungguh memenuhi kualifikasi sebagaimana dinisbatkan dalam kitab-kitab tersebut diatas.

Integritas dan kejujuran Jokowi telah teruji dalam rekam jejak kepemimpinannya sejak menjabat Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga Presiden RI, tidak terlibat sedikitpun dalam anasir-anasir korupsi, keluarganya dijauhkan dari bisnis yang bersentuhan dengan negara, adil dalam proporsi kebijakan-kebijakan baik dalam regulasi maupun dalam ikhtiarnya mereformasi ulang redistribusi aset, tanah dll.

Dalam hal proporsi kepentingan umat (Islam) yang selama ini diframing seolah-olah Jokowi tdk ramah pada umat Islam, sangat berbanding terbalik dengan kenyataannya. Di era kepemimpinan Jokowilah, kaum santri "diakui negara" dalam kiprah perjuangannya merebut dan mempertahankan kemerdekaan NKRI dengan ditetapkannya "Hari Santri Nasional" selain kebijakan-kebijakan lain yang berorientasi keumatan misalnya penguatan lembaga-lembaga keagamaan, lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren.

Kontestasi Lilpres 2019, adalah mekanisme demokrasi dalam seleksi kepempinan nasional selain telah diatur dalam konstitusi negara kita, juga secara prinsip sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.

Karena itu, tidak selayaknya bagi kita (para Ustad, pemuka agama dll) untuk menariknya dalam pilihan "halal haram", bukan saja sesat dan menyesatkan akan tetapi justru menjauhkan kita dari jalan menuju ketaqwaan.

Al'qur an mengingatkan kita semua bahwa "janganlah kebencianmu pada satu golongan, menjadikanmu tidak berbuat adil. Berbuat adillah, karena akan mendekatkanmu kepada ketaqwaan" (Al maidah, 8).

Gus Nur, sebagai seorang mubaliig, sebagaimana pemuka-pemuka agama lainnya, memiliki kewajiban sebagai penyambung lidah umat untuk memberikan pencerahan kepada umat dengan timbangan yang adil, faktual, tidak menarik-narik agama untuk menjustifikasi pilihannya serta menjauhi ujaran-ujaran kebencian.

Marilah kita kembali ke jalan konstitusi dan ajaran agama kita bahwa menghakimi pilihan umat dengan fatwa " haram", selain kesesatan yang nyata dan berpotensi merusak tenun ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah insaniyah diantara kita.(Yones)

Berita Terkait