Peristiwa G 30 S/PKI dan Pahlawan Revolusi



Jakarta, Beritainspiratif.com – A. Yani memangku jabatan Menteri/Panglima Angkatan Darat pada saat si­tuasi politik di tanah air didominasi oleh PKI. Berdiri di belakang Pemerintah sebagai partai yang paling anti terhadap pemberontakan PRRI, PKI sebenar­nya menyiapkan pemberontak baru. Dominasi PKI itu dimungkinkan oleh politik keseimbangan kekuatan (balance of power) yang digariskan oleh Presiden Sukarno. Garis politik itu menempatkan Angkatan Darat pada posisi yang sulit. Kesulitan itu terlebih-lebih dirasakan oleh Yani. Di situ pihak, sebagai militer yang menjunjung tinggi disiplin, ia harus patuh kepada Presi­den sebagai Panglima Tertinggi. Di pihak lain, ia tidak dapat menutupi rasa antipatinya terhadap PKI yang semakin hari semakin meningkatkan usaha untuk merongrong negara.

Rongrongan itu dirasakan pula dalam tubuh Angkatan Darat. Terhadap Angkatan ini dialamatkan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasarkan kebe­naran. Issue “Dewan Jenderal” dan Dokumen Gillchrist disebarluaskan dalam masyarakat. Dewan yang menurut versi itu dipimpin oleh Yani, dituduh ber­tujuan menilai kebijaksanaan politik Presiden. Sedangkan dalam Dokumen Gillchrist disebutkan keterlibatan Angkatan Darat dalam rencana serangan salah satu negara asing ke Indonesia.

Dengan dasar adanya ancaman negara asing itu, PKI rnelalui Presiden menuntut dibentuknya Angkatan Kelima. Untuk itu buruh dan tani yang merupakan massa PKI harus dipersenjatai. Dengan tegas gagasan pembentuk­an angkatan kelima ditolak oleh Yani. Begitu pula ia menolak gagasan Nasa­komisasi ABRI yang sebenarnya usul dari PKI. Pertentangan antara kedua. kekuatan itu tetap berlanjut. Serangan fisik berupa percobaan terhadap Angkatan Darat dilancarKan PKI dalam peristiwa Bandar Betsy, peristiwa Jengkol dan lain-lain. Antara Angkatan yang satu dengan lainnya dalam ABRI diadu domba, dan bahkan antara kesatuan-kesatuan dalam angkatan yang sama. PKI berusaha memudahkan cara untuk merebut kekuasaan negara. Puncak dari usaha itu ialah pemberontakan yang mereka lancarkan pada tanggal 30 September 1965 yang kemudian dikenal dengan nama G.30.S/PKI.

Sasaran pertama dari pemberontakan itu adalah melumpuhkan Ang­katan Darat. Untuk itu maka pejabat-pejabat teras Angkatan Darat harus diculik dan dibunuh, termasuk Jenderal Ahmad Yani.

Di rumah yang terletak di ujung Jalan Lembang, Jakarta kira-kira pukul 05.00 tanggal 1 Oktober 1965 mbok Milah, pembantu rumah tangga Yani sudah bangun. Begitu pula Eddy, putra bungsu Yani. Sementara itu di luar rumah, kelompok penculik berhasil menyergap pasukan pengawal, dan setelah itu memasuki pekarangan. Sersan Tumiran dalam pakaian seragam Cakrabi­rawa (pasukan Pengawal Istana) masuk melalui pintu depan yang kebetulan tidak terkunci dan memerintahkan mbok Milah membangunkan Jenderal Yani. Pembantu rumah ini tidak berani dan karena itu Eddylah yang diperin­tahkan membangunkan ayahnya. Beberapa orang anggota penculik masuk melalui pintu samping dan menimbulkan suara bising yang menyebabkan terbangunnya semua anak-anak Yani.

Diberitahukan ada utusan yang menghadap, Jenderal Yani segera bangun dan keluar ke ruangan tamu belakang untuk menemui utusan terse­but. Tidak ada rasa curiga sebab yang datang itu adalah anggota Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden. Sersan Raswad yang memakai tanda pangkat Kapten melaporkan bahwa, Jenderal Yani diperintahkan Presiden segera menghadap ke Istana. Maka berlangsunglah dialog dan peristiwa di bawah ini :

Yani : “Baik, tunggu dulu, saya mau mandi,” sambil berbalik untuk masuk kamar.

Tumiran : “Tidak usah mandi.”

Yani : “Baik, saya akan cuci muka dan berpakaian.”

Tumira : ”Tidak usah berpakaian.”

Jenderal Yani menjadi marah. Ia membalikkan badannya dan menempeleng prajurit yang berdiri persis di belakangnya sambil berkata, “Tahu apa kau prajurit.” Sesudah itu ia melangkah masuk ruangan tengah dan menutup pintu kaca. Prajurit yang ditempeleng itu adalah Praka Dokrin. Sersan Giyadi yang berdiri di samping Dokrin melepaskan serentetan tembakan Thomson ke arah Yani yang sedang membelakang. Peluru-peluru itu menembus pintu kaca dan kemudian mengenai tubuh Jenderal Yani. Jenderal Yani pun rubuh. Dalam keadaan berlumuran darah tubuhnya diseret ke pekarangan dan kemudian dilemparkan ke atas sebuah truk. Jenazahnya dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua di Lubang Buaya. Ke dalam sumur yang sama dimasukkan pula korban-korban lainnya.

Sumur itu ditemukan pada tanggal 3 Oktober 1965 setelah daerah Lubang Buaya dan sekitarnya dibersihkan dari gerombolan PKI. Pada Hari Ulang Tahun ke-20 ABRI, jenazah-jenazah korban pengkhianatan PKI itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kali Bata, Jakarta dengan, upacara militer yang khidmat dan mengharukan.

Tokoh Angkatan Darat dan ayah dari delapan orang anak itu memiliki tiga belas buah tanda jasa berkat pengabdiannya kepada negara. Berkat pe­ngabdian itu pula, setelah gugurnya, Pemerintah menganugerahkan kepadanya gelar Pahlawan Revolusi pada tanggal 5 Oktober 1965.      (Yanis)

Dikutip dari laman Wikipedia dan Pusjarah TNI serta artikel lainnya yang terkait.

Berita Terkait