Jakarta, Beritaimspiratif.com - Ketidakjelasan status halal vaksin campak rubella atau Measles Rubella (MR) mendorong digelarnya pertemuan Kementerian Kesehatan dengan Majelis Ulama Indonesia. Audit terhadap vaksin yang didatangkan dari India itu bisa menghasilkan dua kemungkinan, mengandung unsur haram atau tidak. Lalu, bagaimana ada jika unsur haram dalam vaksin itu?

Dikutip Kiblat, pertemuan antara Menteri Kesehatan Nila Moeloek bersama Direktur Utama PT BioFarma selaku pengimpor vaksin MR dengan pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) berlangsung di kantor MUI Pusat, Jakarta, Jumat (03/08/2018). Pertemuan yang diinisiasi kedua belah pihak tersebut berlangsung tertutup.

Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Asrorun Ni’am Sholeh menyebut ada kepentingan jaminan hak-hak keagamaan bagi masyarakat dalam isu vaksin MR. Kepentingan itu erat kaitannya dengan kehalalan vaksin yang diproduksi Serum Institute of India.

“Di beberapa daerah, khususnya di luar Jawa, terjadi keresahan mengenai kepastian jaminan kehalalan produk vaksin MR,” ungkap Ni’am kepada awak media di Gedung MUI, Jl Proklamasi Jakarta, Jum’at (03/08/2018).

Ni’am menyebut terjadi kesimpangsiuran di masyarakat terkait kehalalan vaksin MR. “Di satu sisi, ada yang menyatakan itu sudah halal, sehingga dengan informasi itu pelaku kesehatan di daerah mensosialisasikan,” ungkapnya.

Simpang siur informasi, lanjut Ni’am, memicu keresahan di tengah. Sebagian pihak kemudian melakukan konfirmasi ke MUI terkait status kehalalan vaksin MR. Menjawab hal itu, MUI pada 25 Juli 2018 mengeluarkan surat resmi yang menyatakan vaksin untuk imunisasi campak rubella itu belum mendapatkan sertifikasi halal.

Ni’am mengungkapkan hingga detik terkahir sebelum pertemuan dengan Kemenkes dan BioFarma, vaksin MR produk Serum Institute of India belum tersertifikasi halal LPPOM MUI. Dia menyebut pertemuan yang berlangsung hingga sore itu untuk mencari jalan keluar.

“Pertama, ada kesepahaman proses sertifikasi terhadap vaksin, ada komitmen secara lisan yang disampaikan oleh Bu Menteri, Dirut BioFarma sebagai importir,” ungkapnya.

Pertemuan itu kemudian menyepakati dilakukannya percepatan terkait sertifikasi kehalalan Vaksin MR. Ni’am mengungkapkan, Menteri Kesehatan atas nama negara meminta BioFarma dan SII untuk mendapatkan akses secara langsung ke komposisi yang membentuk vaksin MR.

“Kedua, Komisi fatwa MUI mempertimbangkan untuk mempercepat proses penetapan fatwa setelah proses auditing yang sudah dilakukan LPPOM MUI,” ungkapnya.

Ni’am menekankan LPPOM MUI dalam posisi menunggu dan siap melakukan tindakan extraordinary berupa langkah cepat untuk melakukan pemeriksaan. “Tentu dengan prinsip-prinsip prudensialitas (kebijakan) yang dimiliki oleh sistem di LPPOM dan Komisi Fatwa,” tegasnya.

Dari hasil auditing, terang Ni’am, akan ada dua kemungkinan yang terjadi. Kemungkinan pertama, vaksin MR bersih dari sisi bahan, artinya bisa dikeluarkan sertifikat halal. Artinya, kalau memang tidak ada hasil yang terbukti haram dan najis maka vaksin itu halal dan sertifikat bisa cepat dikeluarkan.

Kemungkinan kedua, pembentuk vaksin mengandung unsur najis atau haram. Jika unsur itu ditemukan, Niam menyebut akan dipertimbangkan dampak yang ditimbulkan jika tidak dilakukan imunisasi dan mudhorot secara kolektif di tengah masyarakat.

“Maka terhadap yang haram tadi bisa dibolehkan untuk digunakan. Ketika tidak ada alternatif lain, ketika tidak ada vaksin sejenis yang halal atau suci, ketika bahayanya sudah sangat mendesak, ketika ada penjelasan yang punya kompetensi terkait bahaya itu. Saya kira itu point pentingnya,” jelasnya.

Ni’am menyebut adanya komitmen dari Kementerian Kesehatan bersama MUI untuk menenangkan masyarakat akibat kesimpangsiuran informasi kehalalan vaksin MR. Kedua belah pihak sepakat mempercepat proses sertifikasi dan melakukan panduan dalam pelaksanaan proses imunisasi.

Selain itu, melakukan penundaan pelaksanaan imunisasi di beberapa daerah yang memang memiliki konsen terkait isu keagamaan. “Itu yang jadi komitmen bersama,” tukasnya

(Kaka)